Pinggul merupakan salah satu bagian tubuh yang memiliki peran penting dalam menopang berat badan serta memungkinkan pergerakan yang fleksibel. Sendi pinggul, yang merupakan salah satu sendi dengan jangkauan gerak bebas, memungkinkan seseorang untuk menggerakkan tungkai atas ke berbagai arah dengan leluasa. Hal ini membuat pinggul memiliki peranan vital dalam aktivitas sehari-hari, seperti berjalan, berlari, dan duduk.
Masalah pada bentuk dan struktur pinggul dapat terjadi sejak bayi, dan jika tidak dideteksi serta ditangani dengan baik, kondisi ini dapat berdampak jangka panjang terhadap kualitas hidup anak di masa depan.
Beberapa komplikasi yang mungkin timbul meliputi perbedaan panjang kaki, perubahan pola berjalan, hingga gangguan postur tubuh. Tidak hanya terbatas pada bayi dan anak-anak, gangguan pada pinggul juga dapat terjadi di usia dewasa dan menimbulkan berbagai keluhan seperti nyeri kronis serta keterbatasan gerak.
Salah satu kondisi medis yang berhubungan dengan gangguan pada pinggul adalah hip dysplasia, yang perlu dikenali dan dipahami agar dapat ditangani dengan tepat.
Dalam Artikel Ini:
Apa itu Hip Dysplasia?
Hip dysplasia atau displasia pinggul merupakan kondisi di mana sendi pinggul tidak berkembang dengan sempurna, menyebabkan ketidaksejajaran antara bola (kepala tulang paha) dan soket (acetabulum) yang terdapat pada tulang pelvis.
Dalam keadaan normal, kepala tulang paha seharusnya berada dengan pas di dalam acetabulum dan dikelilingi oleh lapisan tulang rawan serta jaringan lunak bernama labrum. Struktur ini berfungsi untuk menjaga stabilitas sendi serta mengurangi gesekan antar tulang saat bergerak.
Pada penderita hip dysplasia, bola sendi tidak berada dalam posisi yang ideal sehingga mengakibatkan ketidakstabilan sendi, meningkatkan risiko dislokasi, serta mempercepat proses degenerasi sendi akibat gesekan yang tidak normal.
Hip dysplasia lebih sering terjadi sejak lahir dan umumnya dapat terdeteksi pada masa bayi. Statistik menunjukkan bahwa kondisi ini terjadi pada 1,5 hingga 20 bayi dari setiap 1000 kelahiran hidup. Beruntung, sebagian besar kasus (sekitar 60-80%) dapat kembali normal dalam beberapa minggu pertama kehidupan tanpa perlu intervensi medis yang signifikan.
Gejala Hip Dysplasia
Gejala hip dysplasia dapat berbeda tergantung pada usia penderitanya. Pada bayi yang baru lahir, orang tua mungkin akan melihat bahwa salah satu kaki bayi tampak lebih panjang dari yang lain.
Selain itu, keterbatasan gerakan pada salah satu sisi sendi pinggul dapat terlihat saat mengganti popok. Jika kondisi ini berlanjut hingga anak mulai berjalan, mereka mungkin menunjukkan pola berjalan yang pincang atau tidak seimbang.
Sementara itu, pada remaja dan orang dewasa, hip dysplasia sering kali ditandai dengan rasa nyeri akibat peradangan sendi (osteoarthritis) atau robekan pada labrum. Kondisi ini dapat menghambat aktivitas sehari-hari dan menurunkan kualitas hidup.
Nyeri umumnya dirasakan di sekitar selangkangan dan sering kali muncul atau memburuk saat beraktivitas. Beberapa penderita juga mengalami sensasi ketidakstabilan pada pinggul, bahkan ada yang merasakan pergerakan tidak normal disertai bunyi “pop” saat sendi bergerak.
Penyebab dan Faktor Risiko Hip Dysplasia
Hip dysplasia terjadi akibat perkembangan sendi pinggul yang tidak sempurna, terutama saat masih dalam kandungan atau setelah lahir. Beberapa faktor yang meningkatkan risiko terjadinya hip dysplasia meliputi:
1. Jenis Kelamin
Hip dysplasia lebih sering terjadi pada bayi perempuan dibandingkan laki-laki dengan rasio 1:8. Hal ini diduga berkaitan dengan hormon ibu yang meningkatkan kelenturan ligamen selama kehamilan.
2. Kelahiran Pertama
Bayi yang merupakan anak pertama memiliki kemungkinan dua kali lebih tinggi mengalami hip dysplasia. Diduga, rahim ibu yang masih kencang pada kehamilan pertama dapat memberikan tekanan ekstra pada janin sehingga mempengaruhi perkembangan sendi pinggul.
3. Posisi Sungsang
Bayi yang lahir dengan posisi sungsang lebih rentan mengalami tekanan pada kaki dan sendi pinggul, yang dapat mengakibatkan dislokasi sejak dalam kandungan.
4. Kondisi Oligohidramnion
Volume cairan ketuban yang terlalu sedikit dalam rahim (oligohidramnion) dapat mengurangi ruang gerak janin dan menghambat perkembangan normal sendi pinggul.
5. Riwayat Keluarga
Hip dysplasia memiliki komponen genetik yang cukup kuat. Beberapa penelitian mengaitkan kondisi ini dengan faktor keturunan yang melibatkan kromosom 13.
6. Membedong Bayi Terlalu Ketat
Membungkus bayi dengan posisi kaki terlalu lurus dan kaku dapat menghambat perkembangan alami sendi pinggul, meningkatkan risiko terjadinya hip dysplasia.
Diagnosis Hip Dysplasia
Jika Anda menduga bahwa anak Anda mengalami hip dysplasia, sebaiknya segera periksakan ke dokter untuk mendapatkan evaluasi medis. Secara umum, dokter akan melakukan pemeriksaan skrining pada setiap bayi yang baru lahir, terutama selama kunjungan awal pemantauan kesehatan, dengan perhatian khusus pada bayi yang memiliki faktor risiko.
Pemeriksaan dimulai dengan observasi fisik, di mana dokter akan memeriksa area pinggul dan selangkangan untuk mendeteksi kemungkinan ketidakseimbangan atau perbedaan bentuk. Selanjutnya, dokter akan melakukan serangkaian gerakan pada kaki bayi untuk mengevaluasi rentang gerak sendi pinggul. Pada anak yang sudah bisa berjalan, dokter mungkin akan meminta mereka berjalan dan mengamati apakah ada kelainan pada postur atau pola jalannya.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang kondisi sendi pinggul, dokter dapat merekomendasikan pemeriksaan tambahan. Ultrasonografi (USG) sering digunakan untuk bayi berusia hingga 6 bulan karena tulangnya masih lunak. Sementara itu, pemeriksaan X-ray lebih disarankan untuk anak yang lebih besar, di mana struktur tulang sudah lebih berkembang.
Pengobatan Hip Dysplasia
Penanganan hip dysplasia bertujuan untuk mencegah atau memperlambat terjadinya peradangan pada sendi pinggul serta mempertahankan kesehatan sendi selama mungkin. Jenis terapi yang diberikan akan disesuaikan dengan usia pasien, tingkat keparahan kondisi, kondisi struktur di sekitar sendi, ada atau tidaknya peradangan, serta sisa masa pertumbuhan pasien.
Jika hip dysplasia masih dalam tahap ringan dan tidak ada kerusakan pada labrum atau kartilago sendi, dokter mungkin akan merekomendasikan metode pengobatan non-operatif. Berikut adalah beberapa pendekatan terapi non-bedah yang dapat digunakan:
1. Observasi
Pada bayi yang baru lahir, hip dysplasia sering kali dapat membaik dengan sendirinya tanpa perlu intervensi medis. Oleh karena itu, dokter mungkin hanya akan melakukan pemantauan berkala. Pada remaja dengan gejala ringan, observasi tetap diperlukan, dengan pemeriksaan rutin setidaknya setiap enam bulan untuk memantau perkembangan kondisi.
2. Pavlik Harness
Untuk bayi yang baru lahir, penggunaan alat bantu seperti Pavlik harness dapat membantu menstabilkan posisi bola sendi pinggul. Alat ini biasanya dipakai selama 6 hingga 12 minggu dan hanya boleh dilepas sesuai anjuran dokter.
Orang tua akan diberikan panduan khusus dalam merawat bayi selama penggunaan alat ini, termasuk cara mengganti pakaian, popok, serta posisi tidur yang aman untuk mencegah iritasi kulit.
3. Spica Cast
Bayi yang berusia lebih dari 6 bulan dengan hip dysplasia mungkin memerlukan penggunaan spica cast, yaitu gips khusus yang membantu menjaga stabilitas sendi pinggul selama proses pemulihan.
4. Jaga Berat Badan
Anak-anak dengan hip dysplasia dianjurkan untuk menghindari aktivitas yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan atau nyeri pada sendi pinggul. Jika anak mengalami kelebihan berat badan, menurunkan berat badan dapat membantu mengurangi tekanan berlebih pada sendi dan memperbaiki mobilitas.
5. Terapi Fisik
Latihan fisik yang direkomendasikan oleh dokter atau fisioterapis dapat membantu meningkatkan fleksibilitas, memperkuat otot di sekitar sendi pinggul, serta memperbaiki rentang gerak sendi agar tetap optimal.
6. Penggunaan Obat-obatan
Obat antiinflamasi non-steroid (NSAID) seperti ibuprofen dan naproxen dapat diberikan untuk mengurangi nyeri dan peradangan pada sendi. Dalam beberapa kasus, dokter mungkin juga akan menyarankan penyuntikan obat antiinflamasi langsung ke sendi. Namun, penting untuk diketahui bahwa obat-obatan ini hanya bersifat sementara dan tidak mengatasi penyebab utama hip dysplasia.
7. Tindakan Bedah
Jika kondisi hip dysplasia cukup parah atau tidak merespons terapi non-bedah, maka operasi mungkin diperlukan. Pada pasien dewasa dengan tingkat keparahan ringan, prosedur arthroscopy dapat dilakukan dengan bantuan kamera kecil untuk memperbaiki struktur sendi. Namun, jika kondisi lebih serius, dokter mungkin akan melakukan prosedur rekonstruksi dengan memotong tulang pelvis dan menyesuaikannya kembali agar bola sendi pas dengan soketnya.
Dengan penanganan yang tepat, penderita hip dysplasia memiliki peluang yang lebih baik untuk menjalani kehidupan yang aktif dan bebas dari nyeri jangka panjang.
Komplikasi Hip Dysplasia
Jika hip dysplasia tidak ditangani dengan baik, kondisi ini dapat menimbulkan berbagai komplikasi serius di kemudian hari. Salah satu dampaknya adalah kerusakan pada labrum, yaitu jaringan tulang lunak yang mengelilingi acetabulum, yang dapat mengalami robekan akibat ketidakstabilan sendi. Selain itu, penderita hip dysplasia memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami osteoarthritis atau peradangan pada sendi pinggul.
Seiring waktu, gesekan yang terus-menerus pada sendi dapat menyebabkan lapisan kartilago mengalami keausan, sehingga mengurangi fungsi bantalan alami sendi. Akibatnya, penderita akan merasakan nyeri yang semakin intens dan mengalami keterbatasan dalam bergerak, yang dapat berdampak pada kualitas hidup mereka.